Ketika Wonosobo di Zaman Jepang dan Kemerdekaan
Bumiroso Ibu Kota Brebes, Sirandu Pagerkukuh Ibu Kota PekalonganTidak banyak yang mengetahui bahwa Kabupaten Wonosobo, memiliki peran yang cukup signifikan dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Peran tersebut diantaranya menjadi tampungan pengungsi sementara, pemerintah dua karisedenan di Jawa Tengah.
HAL itu diawali saat gagalnya Perudingan Renville maupun Linggarjati. Kemudian RI, memasuki perang kemerdekaan yang sebenarnya, diawali clash ke-2 pada tanggal 19 Desember 1948.
Mengutip dari sejarah Wonosobo, edisi kedua tahun 2008. Mengenai perang kemerdekaan yang terjadi di kabupaten ini, para pejuang menuliskan bagaimana suasana Kota Wonosobo dan wilayah Kabupaten Wonosobo.
Penduduk di wilayah kabupaten, khususnya kota bertambah padat, sekan-akan wonosobo mengalami overblast atau kelebihan muatan.
Wilayah kabupaten yang sekecil itu mendadak menjadi harus menjadi tempat kedudukan dua karisedenan, Pekalongan dan Banyumas, yang harus mundur ke daerah yang boleh dikuasai oleh republik.
Secara bebarengan, pemerintah kedua karisedenan melakukan hijrah ke Wonosobo. Yang otomotis diikuti oleh semua perangkat aparatur pemerintahan. Termasuk, kantor dinas dan jawatan, ditambah keluarga pegawai.
Keadaan tersebut ditambah dengan sejumlah penduduk dari masing-masing daerah yang masih setia kepada republik. Dukuh Drewel Bumiroso dan Desa Bumiroso Watumalang berfungsi sebagai kota Kabupaten Brebes dan Pemalang. Sedangkan Dukuh Sirandu Kelurahan Pagerkukuh menjelma menjadi ibu kota Pekalongan.
Pendopo Kabupaten Wonosobo yang sejuk dan sunyi kala itu, kemudian dipetak-petak untuk menampung berpuluh-puluh instansi dari berbagai tingkat dan daerah yang susah dibayangkan kondisinya saat ini. Bahkan dua paseban alun-alun menjadi lokasi efektif bagai jalannya roda Pemerintahan Kabupaten Pekalongan.
Bangunan RSPD sekarang pada waktu lalu ditempati Jawatan Penerangan Karisedenan Pekalongan dan belum lagi terhitung banyaknya markas komando ketentaraan di beberapa gedung sekitar kabupaten. Seperti Resimen XVIII Div III Diponegoro dengan Satuan Batalyon 58, masing-masing di bawah pimpinan Mayor Kardjono dan Mayor Mayor Kaslam serta satuan ALRI dari tegal.
Gedung Dena Upakara menjadi asrama pasukan, dan gedung yang berhadapan dengan kantor DPRD Wonosobo yang waktu itu menjadi asrama SGB beralih tugas menjadi rumah sakit tentara. Kota dingin di kaki gunung itu benar-bnenar melampaui daya dukung penghuninya, sampai rumah di kampung dipaksa berlipat ganda jumlah penghuninya.
Namun berkat adanya kesadara dan harapan akan adanya kemenangan bagi pihak republik, maka situasi tersebut dapat berjalan dan seirama dengan tekat perjuangan. Solidaritas sosial senasib dan sepenanganggungan berkembang serasi dengan suka duka yang sama-sama harus ditanggung.
Semua didorong oleh satu cita-cita dan semangat bersama mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945. Gelora dan cita-cita serta semangat itu, setiap malam disiarkan untuk menembus dan memasuki udara jauh di atas wilayah pendudukan musuh, oleh pancaran RRI Berjuang, sekarang RRI Purwokerto yang menempati salah satu ruang di gedung DPRD Wonosobo .
Untuk rakyat yang sedang berjuang kala itu, siaran tersebut seperti meniupkan api perlawanan terhadapa kolonial. Sedangkan bagi musuh, siaran itu bagaikan bisikan hantu yang menakutkan. Sehingga, tidakaheran, pada perang kemerdekaan pertama, Wonosobo mendapatkan pengintaian dari udara.
Pada Senin Pahing tanggal 19 Desember 1948, saat perang kemerdekaan kedua, sehari sesudah Belanda melakukan bombardermen terhadap Yogyakarta, kota Wonosobo tidak luput mendapatkan serangan dari udara dengan dahsyat. Empat pesawat terbang jenis B29 dengan pengawalan dua pesawat capung, sejak pukul 08.00 WIB meraung-raung di atas kota.
Peluru 12,7 dimutahkan dari pesawat secara membabi buta. Mereka menembaki toko-toko dan pasar termasuk membrondong Gereja Santo Paulus. Rumah-rumah di kampung longkrang, semagung dan mangli terus mendapatkan serangan udara. Selain itu, serangan juga diarahkan ke Gedung Scohder, sekarang Pesanggrahan Selomanik, yang dianggap sebagai Sarang Gerilyawan.
Pada tanggal 20 Desember 1948, Kota Wonosobo diduduki oleh Pemerintah Belanda. Pada saat yang sama, pasukan BKR waktu itu menuju pedesaan melakukan perang gerilya. Para pengungsi yang memadatai Wonosobo telah kembali dua hari sebelum pendudukan ke daerah asal. Pemerintah Wonosobo berpindah-pindah, mulai dari duku sribit yang ada di pinggiran Kota Wonosobo kemudian geser ke kecamatan-kecamatan.
Pertemupuran sengit antara tentaara Belanda dan tentara Indoneisa terjadi hampir seluruh wilayah Kecamatan Wonosobo. Serangan membabi buta yang dahsyat dari Belanda itu kemudian bisa diredam berkat adanya rakyat, tentara dan pemerintah yang manunggal.
Kepala Dinas Kominfo Wonosobo Eko Suryantoro, mengemukakan bahwa melalui momentum HUT Kemerdekaan RI ke 74, kembali diingatkan tentang sejarah perjuangan masa lalu dalam mengusir dan mempertahankan kemerdekaan, termasuk di Kabupaten Wonosobo.
“Ternyata di Kabupaten Wonosobo kaya dengan sejarah perjuangan melawan penjajah. Hal ini perlu dijadikan sebagai literasi bagi anak-anak muda termasuk pelajar,” katanya.
Pihaknya berharap semangat dari perjuangan pada pendahulu dalam merebut kemerdekaan, khususnya di Wonosobo, mampu diwarisi oleh generasi saat ini dalam membangun bersama kabupaten tercinta Wonosobo.
*Agus Supriyadi* Wonosobo Ekspress 31/08/2019
https://magelangekspres.com/ketika-wonosobo-di-zaman-jepang-dan-kemerdekaan/